Sabtu, 16 Mei 2009

RENUNGAN BANGSAKU


Pemilihan umum dalam memperebutkan kursi di Parlemen telah berlalu, dan sebentar lagi kita akan memilih kembali sosok pemimpin negeri kita ini, sosok seorang presiden dan wakil presiden.
Disini nasib bangsa ini dipertaruhkan, akan kemana negeri ini dibawa oleh pemimpin baru kita.
Terdapat tiga kandidat presiden yang akan memperebutkan kursi pemimpin negeri kita, Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiyono, Jusuf Kalla dan Wiranto, Megawati dan Prabowo Subbianto.
Dari ketiga calon presiden tersebut masing - masing mempunyai karakteristik yang berbeda beda, sehingga kita sebagai masyarakat awam apabila kita telaah masing masing karakter tersebut, kita akan bisa menentukan ke arah mana negeri ini akan dibawa. Mari kita cermati dan simpulkan bersama.

Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiyono
merupakan satu pasangan karakter yang cenderung menunjukkan kemegahan dengan satu format keteraturan yang jelas dan harus dijalani,sesuai satu plan yang cukup formal dan jelas. sisi lain pasangan ini lahir berdasarkan pengambilan keputusan mutlak dari SBY nya sendiri yang tidak memberikan sharing wakilnya untuk partai pendukung koalisi. Bisa dikatakan pasangan ini lahir dengan satu beban ketidaksolitan dan sedikit konflik atas partai pendukung koalisi karena merasa tidak diajak kompromi dalam pemilihan cawapresnya.
pasangan ini boleh berkata anti pasar bebas, namun seperti kita lihat team ekonomi SBY selama menjabat selama ini yang menginterpretasikan orang orang yang pro pasar bebas. Bisa dikatakan bahwa SBY dan Budiyono tetap memproyeksikan landasan ekonomi negeri kita ini berdasarkan pasar bebas, walaupun dengan bahasa proteksi terhadap komoditas tertentu, namun ini merupakan penghalusan bahasa program.

Muhammad Jusuf Kalla dan Wiranto
Satu pasangan yang boleh dibilang fenomenal dan berusaha mendobrak asumsi bahwa presiden adalah orang jawa. Pasangan ini lahir secara alamiah dengan dukungan masing masing partai serta menginterprestasikan sisi ketegasan, spontanitas dan realitas. Artinya kerekter mereka menonjolkan sisi apaa adanya tanpa basa basi. sementara sisi wiranto berfungsi sebagai penyeimbang dari sisi Jusuf Kalla yang menggambarkan perwakilan karakter Indonesia Timur yang selalu tegas dan apa adanya. disini tercermin bahwa program ekonomi mereka banyak menfokuskan pada sisi stabilitas berjalannya ekonomi secara mikro berdasarkan basic Jusuf Kalla yang bertangan pengusaha.

Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subiyanto
Dua sosok yang jelas kita tahu siapa mereka dan apa peran orang Tua mereka dalam kancah negeri ini pada masa yang lalu.
secara karakter pasangan ini lahir dari hasil tarik ulur yang cukup lama dan merupakan pasangan yang mau tidak mau harus berkoalisi untuk bisa maju ke dalam pemilihan presiden.
Telah kita tahu bahwa dua partai mereka mempunyai karakter perubahan ekonomi dan konsep ekonomi kerakyatan. Pasangan ini mempunyai satu tingkat kesulitan yang cukup tinggi, karena apabila mereka bisa lolos sebagai pemimpin negeri ini, maka massa petani, nelayan yang mereka klaim sebagai pilar pendukungnya harus bisa memberikan perubahan yang nyata. sisi konsep ekonomi kerakyatan yang mereka dengungkan merupaakan satu konsep yang cukup bagus.

Dari ketiga gambaran diatas, kita bisalah menilai bagaimana kita akan memilih para pemimpin negeri ini.
satu hal yang harus kita renungkan, negeri kita adalah negeri yang amat kaya raya dengan penuh komoditas alamiahnya. Marilah kita satukan barisan untuk membangun negeri ini, kita satukan persepsi bahwa kita harus mandiri. Kita bangun negeri ini dengan tangan tangan anak negeri. Kita amatlah mampu mengelola negeri ini, jadi janganlah kita jual aset alam negeri kita hanya untuk kepentingan golongan dan pribadi semata. Marikita manfaatkan apa yang telah dirintis oleh para pemimpin negeri ini terdahulu, dengan satu konsep jelas..berdiri diatas kaki kita sendiri.
mari kita renungkan....

Rabu, 22 April 2009

BUNG TOMO


Sutomo (lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920 – wafat di Padang Arafah, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun) lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

Masa muda
Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Perjuangan
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.

Setelah kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik karena merasa difitna berkaittan dengan pendirian pabrik sabun bermodalkan iuran tukang becak di Surabaya akan tetapi masalah beliau ini kemudian tidak diketahui rimbanya. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehinga pada 11 April 1978ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya.

Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Gelar Pahlawan Nasional
Gelar pahlawan nasional akhirnya diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.

SUMBER : WIKIPEDIA http://id.wikipedia.org/wiki/Sutomo